Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja,
bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?
Period of storm and stress
Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang
waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang
penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett
menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh
remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan
(3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)
Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai
kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan
orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja
bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan
bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja,
namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan
dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk
nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang
dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga
mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).
Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan
membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik
yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang
membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan
hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang
remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang
menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama.
Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa
berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.
Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja,
“Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita.
(1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan
mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk
menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan
sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood
sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana
perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang
mungkin terbentuk.
Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi
dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja
berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring
pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti.
Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu
utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan
Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja
(dalam Laugesen, 2003)
Empat model kognitif bagi kecemasan remaja
Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang
digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan
bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan
perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena
kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan.
Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam
Laugesen,2003) berikut;
“Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an
anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal
thoughts related to possible threatening outcomes and their potential
consequences.”
Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi)
terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3)
orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.
Pemahaman tiap variabel tersebut;
(1) intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang
mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan
merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan
perilaku;
(2) sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa
perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang
lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan
meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi
ketakutan dan kegelisahan;
(3) orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat
kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah
sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat
dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah,
menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul;
(4) penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a)
proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b)
strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.
Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang
bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan
orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam
pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak
terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga
menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat
menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi
dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal
ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang
unik.
Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada
remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam
menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi
cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk
kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga
menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap
berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang
berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau
yang wajar?
Siapa Anda? Siapa saya?
Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga
memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam
menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran
self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005)
menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a
specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills
one has but with judgement of what one can do with whatever skills one
possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja
keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya
self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan
usaha seseorang.
Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal
ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang
ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu
memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai
berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an
organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep
diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik
yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan
orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi
psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne
& Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas
pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan
(2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah
arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada
identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab
Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada
atribusi diri.
Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang
sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal
adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri,
misalnya “Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik.”
Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain,
seperti, “Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras
kepala,” biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari
pandangan dirinya sendiri seperti “…padahal saya hanya mempertahankan
pendapat saya saja.” Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan
lingkungan terhadap diri, seperti “…memang saya merasa susah menerima
perbedaan sih..” Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang
sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku.
Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan
memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru
tanpa merasa terancam.
Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem,
sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik
dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil
perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang
diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya,
semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to
be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered
therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri
dan diri ideal dalam seseorang.
Budaya & Perkembangan Budaya
Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan
budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi.
Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma,
sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku
(Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang
apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan
bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan
kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia, di mana
individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang
berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru
pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era
keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?
Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami
remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept,
self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar